TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu penyakit katastropik yang membutuhkan biaya besar adalah penyakit gagal ginjal kronis (GGK) tahap akhir yang harus menjalani perawatan dialisis. Seperti diketahui bahwa pasien gagal ginjal tersebut harus menjalani prosedur dialisis sepanjang hidupnya sehingga biayanya pun terus membengkak.
Baca juga: Penyakit Ginjal : Sedot Biaya Besar, Cek Pencegahan dari Kemenkes
Berdasarkan data dari JKN, biaya perawatan dialisis yang ditanggung JKN dalam 2 tahun terakhir meningkat dari Rp3,9 triliun pada 2016 menjadi Rp4,6 triliun pada 2017, menempati posisi kedua biaya perawatan tertinggi.
Besarnya biaya dialisis yang harus ditanggung, menjadi salah satu penyebab terjadinya defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jika defisit keuangan BPJS terus bertambah, dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan.
“Dengan semakin banyaknya peserta, penyakit tidak menular dan penyakit menular juga naik. Penyakit katastropik menyerap paling besar dana JKN, lebih dari 30% termasuk gagal ginjal. Sekarang yang menjadi PR besar bagaimana bisa menekan biaya tersebut tanpa harus mengurangi kualitas,” ungkapnya.
Dalam diskusi kebijakan yang dilaksanakan oleh Indonesia Health Economics Association (InaHEA) muncul tawaran untuk mencari layanan yang lebih efektif dan efisien bagi pasien gagal ginjal kronis, selain hemodialisis.
Budi Hidayat, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyatakan terdapat tiga terapi yang bisa dijalankan oleh pasien gagal ginjal. Yaitu hemodialisis, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan transplantasi.
Monalisa Theresia, pasien gagal ginjal sedang melakukan cuci darah menggunakan proses Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysys (CAPD) dikediamannya dikawasan Cibinong, Jakarta, Jumat (28/3). Tempo/Aditia Noviansyah
Menurutnya, transplantasi merupakan terapi terbaik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal. Namun, sayangnya transplantasi ginjal masih sangat sulit dilaksanakan.
Saat ini sekitar 95 persen pasien melakukan perawatan melalui terapi hemodialisis yaitu cuci darah dengan menggunakan mesin khusus untuk menyaring darah menggantikan fungsi ginjal yang rusak.
Hanya 3 persen pasien gagal ginjal kronik yang menggunakan CAPD yaitu terapi cuci darah dengan menggunakan membran di dalam rongga perut sebagai pengganti fungsi ginjal khususnya dalam menyaring dan membuat racun dari dalam tubuh.
“Terapi CAPD ini lebih efektif dari segi biaya dan peningkatan kualitas hidup pasien dibandingkan dengan hemodialisis sehingga dapat digunakan untuk menekan defisit BPJS,” tuturnya.
Senada disampaikan Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia Aida Lydia yang menyebutkan bahwa CAPD merupakan alternatif terapi pengganti ginjal yang paling tepat untuk mengendalikan biaya kesehatan Negara.
Biaya untuk terapi CAPD sekitar 10 persen hingga 15 persen lebih murah dibandingkan dengan hemodialisis. Selain itu, CAPD juga lebih mudah dan fleksibel digunakan pasien gagal ginjal karena dapat digunakan kapan saja dan di mana saja, tidak harus di rumah sakit.
“Pasien bisa melakukannya sendiri tanpa memerlukan bantuan perawat seperti perawatan hemodialisis,” tuturnya.
Berikutnya, kelebihan dan kekurangan CAPD, bagaiaman IRR nya?